Senin, 17 Oktober 2011

Secret Kiss >> Fanfiction


Title : Secret Kiss
Author : Vi
Cast: Kwon Chaerin, No Minwoo, Cho Kyuhyun, Seohyun, IU, Lee Taemin, Choi Minho
Genre: Mystery, Romance, Friendship
Rating : PG-13
Lenght: One-Shot
A/N : Berdasarkan request dari Kwon Chaerin (anty) ^^


 ——————————————————————————————————————————————————————————————————————————
#1# Oppa yang Menyebalkan
Yey, hari ini karyawisata! Hm, memang tidak bisa dianggap karya wisata sih, karena tempatnya tinggi sekali! Kami akan berkaryawisata ke sebuah gunung. Aku sudah bawa persiapannya lengkap! Mulai dari sepatu kets yang tebalnya dua senti hingga mantel yang tebalnya sekitar tiga senti. Jelas bukan peralatan untuk menahan dingin, tapi juga alat mandi, makan, dan tidur. Aku juga bawa bantal, meski bantal yang paling tipis.
Jam sepuluh kami berangkat naik bus ke gunung dari Seoul. Aku naik bus tiga. Bus tiga sangat sepi, menyebalkan! Aku hanya memainkan ipodku. Lagu-lagunya juga aku sudah bosan. Masa dari jaman siti nurbaya (?) sampai sekarang judulnya Mr. Simple sama I Heart You?? //>.<//
Perjalanan memakan waktu lima jam. Bayangkan, lima jam aku di bus dengan ipod!! Apa engga bosen tuh? Bosen sekalee… (mian,alay)
Akhirnya sampai di penginapan. Penginapan itu dikelilingi gunung dan bukit, serta di hadapan penginapan itu terbentang laut yang warna birunya menyatu dengan langit yang cerah. Penginapan itu bentuknya seperti hotel.
Sebelum ke kamar, kami berkumpul di halaman parkir hotel. Kami diceramahi oleh kepala sekolah.
“Murid-murid, jangan berbuat nakal di penginapan,” ujar pak kepala sekolah yang gendut dan botak dengan kumis tipis itu. “Bukan kalian saja yang menginap di tempat ini, jadi jaga tingkah laku kalian, juga jangan buang sampah di sembarang tempat. Jangan meninggalkan barang di sembarang tempat.” dan bla bla bla…
Karena sudah sore dan saat di bs tadi kerjaanku hanya tidur, aku merasa sangat lelah. Aku butuh tidur lagi. Aku menguap. “Hya, Chaerin-ah, kenapa menguap di tempat seperti ini?” bisik seseorang. Aku menengok ke arah suara itu, ternyata Seohyun onnie.
Karyawisata ini diikuti oleh murid kelas delapan dan sepuluh. Di sekolahku, sekolah dasar, SMP, dan SMA berada di satu lingkungan dengan bangunan yang berbeda. Bangunan sekolahku langsung menghadap lapangan dan diapit bangunan sekolah dasar dan SMA. Yup, aku kelas delapan, dan tetangga sekaligus sahabat terbaikku, No Minwoo, berada di kelas sepuluh. Sebenarnya aku kasihan padanya karena diberi tanggung jawab untuk menjagaku selama karyawisata ini. Tapi ketika kutanyakan, dia hanya berkata kalau aku bukan masalah.
Minwoo oppa orang yang lucu. Dia selalu membuatku tertawa dan marah. Yah, bukannya marah, hanya saja aku sering sebal dengan tingkah lakunya.
Setengah jam kemudian kami baru dipersilakan masuk ke kamar. Kebetulan aku sekamar dengan Seohyun onnie yang sudah kukenal baik. Sebuah kamar diisi berdua. Di dalam kamar tersedia dua tempat tidur yang saling bersebelahan. Onnie memilih tempat tidur yang ada di dekat jendela yang juga berfungsi sebagai pintu untuk ke balkon. Katanya, untuk menjagaku agar tidak kedinginan ketika malam.
Aku percaya saja, tapi juga sedikit curiga dengan tindak-tanduknya. Tapi terserahlah, itu urusannya, bukan urusanku.
Oya, aku senang karena kamar Minwoo oppa tepat di depan kamarku. Kamar kami berhaadapan. Aku tidak tahu Minwoo oppa sekamar dengan siapa, tapi semoga saja orang yang baik.
“Chaerin-ah, cepat bereskan barang-barangmu,” ujar onnie.
Aku menoleh bingung. “Wae?”
“Aissh, kau ini pikun sekali! Kita harus makan malam, ingat?”
“Makan? Aku sedang tidak berselera makan. Aku ingin tidur.”
Onnie menghela napas panjang sekali. Sepertinya ia punya gangguan pernapasan dengan tarikan napas sepanjang itu. “Onnie, gwaenchanaeyo?”
“Ehm.”Onnie membalikkan tubuh lalu berdiri menghadap jendela. Apakah ia sedang ada masalah? Kenapa wajahnya seperti itu?
“Onnie, jika ada masalah ceritalah padaku.”
“Bolehkah?”Onnie berbalik dan berjalan mendekatiku. Ia kemudian duduk di tepi tempat tidurku.
“Hm. Kenapa tidak?”
Onnie diam sejenak sementara aku duduk di sampingnya. “Aku bingung, Cherin-ah…” Aku tetap menunggunya melanjutkan ceritanya. “Appa sedang sakit, dan eomma tidak boleh diberitahu. Setiap appa batuk, aku selalu khawatir. Appa mungkin tidak pernah batuk berdarah, tapi aku khawatir appa akan meninggalkanku. Aku takut, Chaerin-ah…” Onnie menyandarkan kepalanya ke pundakku. Aku yang jauh lebih pendek membuatnya tidak nyaman, jadi kepalanya diletakkannya di atas pahaku.
Perlahan onnie menangis, lalu terisak, lalu histeris tanpa suara. Aku miris melihatnya, tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.
“Onnie, jangan takut. Lebih baik, onnie mendoakan kesembuhan untuk appa onnie,” kataku. Entah dari mana aku mendapatkan kata-kata bijak seperti itu. “Lagipula appa onnie tidak ingin melihat putri yang disayanginya menangis, kan?” lanjutku.
Onnie semakin tersedu dalam tangisnya meski suaranya masih pelan. Aku tidak mengerti, apa aku salah memberinya kata-kata seperti itu? “Onnie, apa aku salah bicara?”
Onnie bangun dan mengusap matanya yang sembab. Lalu ia memandangku penuh arti. Onnie menggeleng. “Ne, kau benar. Appa tidak perlu tangisanku. Tapi…”
“Tapi apa?” ucapku setelah onnie tidak juga mengeluarkan sepatah kata pun.
“Tapi, selama ini aku tidak bisa membanggakan appa ataupun eomma.”
“Ani,”selaku.
“Hm?”
“Onnie sudah membuat mereka bangga. Onnie bisa merawat appa meski eomma onnie sedang pergi. Iya, kan?” Onnie mengangguk. “Onnie juga anak yang rajin dan jujur. Itu semua sudah cukup, kan?” Senyum onnie terkembang. Aku senang melihatnya.
CKREKK!!
Kami berdua menoleh.
“Hya, Kwon Chaerin-ssi, kau apakan yeojachinguku?” kata Kyuhyun oppa setengah berteriak.
“Ani. Aku tidak melakukan apapun.”
Kyuhyun oppa berjalan masuk dan berdiri di samping onnie, kemudian Minwoo oppa masuk dengan kemeja biru muda dan celana hitam selutut. Rambutnya disisir rapi. Uh, dia terlihat tampan.
“Chaerin-ah,”panggil onnie. Aku menoleh.
“Ne?”
“Gumawo.”Aku mengangguk.
“Aissh, dasar yeoja-yeoja yang aneh! Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran kalian semua,” ujar Kyu oppa dengan nada sebal.
“Sudahlah, ayo kita makan!” seru Minwoo oppa. Aku menoleh.
“Oppa, aku sedang tidak ingin makan.”
Minwoo oppa memandangku tajam. Aku tersentak. “Ne,” kataku sambil berjalan dengan malas ke luar kamar. Tapi saat berdiri di sampingnya, kulirik Minwoo oppa dengan pandangan sebal. #pandanganmembunuh
“Apa?”sentaknya. Huh, aku berjalan dengan angkuh.
Ketika baru berjalan beberapa langkah, aku mendengar suara Seohyun onnie. “Kau namja yang plin-plan, mengaku sajalah.”
“Tunggu saja saatnya nanti,” balas seseorang, sepertinya seorang namja. Aku tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Lagipula aku juga tidak peduli. Memangnya mereka sedang membicarakanku? Pasti tidak. Untuk apa membicarakanku?
Aku sampai di tempat makan. Untuk anak seumuranku berada di belahan kanan, sedangkan SMA ada di belahan kiri. Aku mengambil makanan yang tersedia. Ada nasi, kimchi, buah pisang, dan susu cokelat. Ada juga susu putih, tapi aku memilih cokelat.
“Hya, jangan melamun!” Aku tersentak. Oh, Minwoo oppa ternyata.
“Aku tidak melamun. Mungkin kau yang melamun?”
“Jika aku melamun, aku sudah menubrukmu.”
“Wae?”
“Karena aku melamun sambil berjalan.”
“Aissh, kau begitu menjengkelkan. Bagaimana bisa?”
Namja di depanku itu memiringkan kepala dan menatapku dengan sorot mata polos. “Aku menjengkelkan?” ulangnya. Aku mengangguk. “Hm, bagaimana bisa?” Aku mulai jengkel lagi. Bagaimana bisa ada orang yang begitu aneh dalam hidupku?? Aissh, sebaaal…!!
“Aku ini begitu menarik, tampan, dan imut. Bagaimana kau bisa berkata‘menjengkelkan’?” lanjutnya.
“Hya, jangan terlalu narsis!”
Tiba-tiba Minwoo oppa menyipitkan matanya. Aku bingung. “Wae? Ada yang salah dengan wajaku?” Tangan kananku meraba pipiku.
“Anny, aku hanya menyipitkan mata karena kau melototkan mata.”
Mataku lebih melotot, lalu memutar. Aku pun pergi meninggalkannya. Masa bodoh dengan panggilannya.
 ——————————————————————————————————————————————————————————————————————————
#2# Pantai
Setelah makan, kami diperbolehkan bermain di pantai. Aku senang bisa menikmati udara sejuk pantai. Padahal daerah sekitar penginapan sangat dingin, tapi pantai ini agak panas—tentu saja karena dataran pantai sangat rendah.
Hanya satu hal yang membuatku tidak nyaman, yaitu MINWOO OPPA!! Namja itu sungguh menyebalkan! Ketika aku datang dengan Shina, teman sekelasku, Minwoo oppa meledekku dengan mengatakan, “Hya, di sini pantai, bukan ruang cetak foto!”
Aku tentu saja melotot. Aku yang baru datang sungguh tidak mengerti dengan apa yang barusan ia ucapkan. “Mworago?”
“Ke pantai pakai bikini, bukan kemeja dan celana pendek!”
Mwo? Memang tidak boleh jika aku memakai pakaian seperti ini? Aku merasa semua orang menatapku. Aku cemberut. Aku sebal dengan Minwoo oppa yang senang sekali mengejekku, padahal dulu katanya aku ini sudah ia anggap adik sendiri. Memangnya seorang adik diperlakukan seperti ini? Urgh, kalau begitu aku tidak mau jadi adiknya!
Aku berlari kembali ke penginapan. Aku sebal. Rasanya ingin memaki-maki orang. Tapi siapa yang ingin dimaki orang? Aku bingung dan kesal.
Akhirnya, entahlah, aku pergi ke mana. Aku juga tidak peduli. Asalkan aku jauh dari gerombolan yang ingin menertawaiku karena tidak pakai bikini ke pantai.
—————————————————————————————————————————————————————————————————————————–
#3# Malam yang menegangkan
Hari beranjak malam dan aku tidak tahu aku ada di mana. Mereka sama sekali tidak mencariku. Bahkan meneriakkan namaku pun tidak. Mereka tidak peduli denganku.
Kurasakan mataku buram, lalu sesuatu membasahi pipiku. Kutengadahkan kepala, dan ternyata rintik hujan tengah turun. “O, hujan!” seruku. Aku berlari mencari pohon yang lebat, tapi tak juga kutemukan.
Aku sudah berlari jauh sekali, tapi tak juga menemukan pohon lebat. O, itu dia! Aku berlari menuju sebuah pohon yang berdiri anggun bagai jamur. Bedanya dengan jamur, yang ini pohon, mempunyai daun warna hijau.
Badanku menggigil. “Hya, kenapa hujan di saat seperti ini?” Kutengok kanan dan kiriku.“Tak ada orang.” Aku menunduk sambil cemberut. Aigoo… badanku sangat kedinginan!!
Tunggu, badanku sedikit hangat. Kulihat pundak kananku. O, bagaimana bisa ada jaket abu-abu di pundakku??
“Hya, jangan pergi terlalu jauh!” Aku tersentak, lalu berbalik. Senyumku langsung mengembang.
“Oppa…”kataku senang. Sungguh, saat ini aku lega dan senang.
“Hya, kau habis menangis, ya? Dasar cengeng!” Minwoo oppa membenarkan letak jaketnya di badanku. Aku tertawa kecil. “Kau sedang demam? Atau gila?”
“Hya, kenapa aku dibilang seperti itu?” Aku menunduk kesal.
“Karena kau senyum-senyum terus!” Aku mendengus.
“Dasar narsis.”
“Memangnya kau tidak?”
“Annyeo.”
Kami saling diam.
“Tapi,”lanjut Minwoo oppa, “kenapa kau terus senyum-senyum begitu?” Minwoo oppa mendekatkan kepalanya padaku. “Apakah, kau, menyukaiku?”
Aku tersedak tiba-tiba. Aku terus terbatuk hingga air mataku keluar. “Kau ini kenapa?” Aku kembali terbatuk. “Mana mungkin aku menyukaimu?”
Namja itu sedikit mengerutkan kening. Ups! Kumundurkan kepalaku karena namja itu kembali mendekatkan kepalanya padaku. “A-ap-apa y-yang s-se-sedang kau lakukan?”
DRRTTT!!!!!“GYAAAA…!!” aku menjerit. Petir yang menyambar membuatku kaget. Sungguh,aku kaget hingga badanku tidak seimbang lagi. Kubuka mataku perlahan.
Kudorong Minwoo oppa keras-keras. “Hya, apa yang sedang kau lakukan?!!”
Namja itu menegakkan badannya. “Tidak ada.”
“Tidak ada?!! Kau gila! Jangan dekati aku lagi!!” Aku pun berlari pergi meninggalkannya. Saat sudah agak jauh, kurasakan dadaku berdebar kencang sekali.
Jangan harap…
Aku pun berhenti berlari.
 ——————————————————————————————————————————————————————————————————————————
#4# Dream or Not??
Sudah pagi ternyata. Aku tidak tahu bagaimana aku sudah berada di atas tempat tidur di penginapanku. Kepalaku sakit sekali, mungkin efek hujan lebat tadi malam. Tunggu, hujan? Hujan? Aissh, kenapa dia harus menciumku?? Gyaaaa… mulai sekarang aku membencinya!!!!
CKREKK!! Aku menoleh ke pintu. Ternyata Hannee, teman sekelasku. Ia datang bersama teman-teman sekelasku yang lain. Aku hanya memandang mereka semua dengan lelah. Ne, aku sangat lelah.
“Hya, Chaerin-ah, gwaenchana?” tanya Hannee.
Kunaikkan alis kananku. “Gwaenchana?”
“Aish…kau ini!” Kepalaku dijitak IU (lupa nama aslinya, hahaa). Aku mengaduh kesakitan. “Kau ini ke mana saja kemarin?” Aku bergeming. Aku benar-benar tidak ingin membahas kejadian mengerikan semalam.
“Huh, untung saja ada aku yang menggendongmu kemari,” ujar Taemin sambil menyisir poninya.
Omo, berarti ciuman itu hanya mimpi?? Kusentuh bibir bawahku. “Chaerin-ah, waeyo?” tanya Minho sambil menatap mataku. Aku lega. Aku tersenyum pada Minho dan berkata, “Annyeo.”
Aku diam sejenak. “Taemin-ah, di mana kau menemukanku?” tanyaku.
“Hm? Di pinggir pantai. Kau sedang pingsan.”
“Apakah saat itu sedang hujan??” Aku masih saja tidak percaya.
“Anny. Saat aku menemukanmu sama sekali tidak hujan. Bahkan mendung pun tidak.” Aku membulatkan bibirku.
Tiba-tiba teman-temanku itu mendekatkan tubuh mereka kepadaku. Aku hanya bisa tersentak. “Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanya IU.
“Kenapa kau terus memegangi bibirmu?”tanya Taemin.
“Kenapa kau sakit secara mendadak?”tanya Minho.
“Dan…” kata Hannee menggantung. Mereka semua diam secara mendadak. Saling berpandangan, lalu memandangku kembali dengan pandangan terharu. Aku tidak mengerti dengan apa yang sedang mereka lakukan.
“Hwaa… dongsaeng kita, Kwon Chaerin-ah, sudah mendapatkan ciuman pertamanya. Hoohh…” kata Hanne mendramatisir.
“Hya, ceritakan padaku bagaimana rasanya!!” tanya Taemin dengan mata penuh harap.
“Apakah basah?” tanya IU.
“Hangat?” lanjut Minho.
Aku cemberut saja, tapi mereka masih tetap menanyaiku dengan perkataan-perkataan bodoh itu.
“HYAAA!!! KELUAR KALIAN!!!” aku berteriak sambil memukul mereka dengan bantal. Akhirnya mereka keluar dan menutup pintu, tapi berselang satu detik, pintu kembali terbuka, dan muncullah kepala Taemin.
Taemin memonyongkan bibirnya dan mencium angin, lalu mengerlingkan mata kanannya sekali. Entahlah bagaimana wajahku. Mungkin buruk, bahkan lebih buruk dari anak itik yang buruk rupa karena marahnya.
“Aigoo… bagaimana aku bisa punya teman seperti mereka??” tanyaku pada di sendiri.
Sekarang hanya ada aku di kamar itu.
Ternyata semua hanya mimpi. Aku senang semua itu hanya mimpi, karena jika benar-benar terjadi, aku akan malu sekali saat bertatapan dengan Minwoo oppa. Aku tidak ingin merasa malu, atau bahkan terbebani.
 ——————————————————————————————————————————————————————————————————————————
#5# Sebuah Air Mata
Malam ini ada pesta api unggun. Kami membuat lingkaran dengan api di antara kami agar tetap hangat. Udara sangat dingin, aku bahkan memakai jaket yang sangat tebal.
Pesta itu diisi dengan menyanyi. Banyak orang yang menyanyikan lagu untuk pacarnya, bahkan untuk menyatakan cinta. Termasuk Kyuhyun oppa. Ternyata ia sudah putus dengan Seohyun onnie. Aku baru tahu hal itu saat makan siang tadi. Seohyun onnie mneceritakan semuanya padaku tanpa rasa bersalah. Baguslah!
Kyu oppa menyanyikan lagu No Other bersama Kim Heechul-ssi, Kim Ryeowook-ssi, Choi Siwon-ssi, Lee Donghae-ssi, Shindong-ssi, Yesung oppa—dia sepupuku—dan Eunhyuk-ssi sambil menari. Aku senang melihatnya. Aku tidak meresapi lagunya, tapi aku hanya melihat gerakannya. Untuk mengusir kantuk.
Selanjutnya Leeteuk oppa, sebagai pembawa acara bersama Taeyeon onnie datang dan berkata, “Selanjutnya mungkin sebuah pernyataan cinta.”
Kemudian Taeyeon onnie mengiyakan. “Kita semua sudah tahu. Ne, sudah menjadi rahasia umum bahwa namja satu ini akan menyatakan cinta. Dan kita pun sudah tahu siapa orang yang ia cintai. Bukan begitu?”
Semua orang meneriakkan kata “iya”. Mungkin hanya aku yang tidka mengerti dengan kejadian ini. Aku tidak peduli. Aku datang kemari untuk menghibur diriku, jadi terserah saja jika ingin menyatakan cinta. Lagipula pernyataan cinta itu akan membuatku lebih bersemangat mengikuti acara ini. Hmm, siapa ya, orang yang akan menyatakan cintanya? Juga siapa yang akan diberi pernyataan cinta itu? Ah, aku sudah tidak sabar!
Celanaku bergetar. O, ada panggilan. Kubuka flap ponselku, ternyata eomma. Aku berdiri dan pergi dari tempatku. Aku menjauh agar dapat berbincang dengan leluasa.
“Yobseyo?” kataku.
Kudengar isakan. “Eomma?” kataku lagi. Beberapa detik kutunggu eomma masih menangis. “Eomma!” kali ini suaraku lebih keras.
“Chaerin-ah…” Eomma, aku menunggu. Jangan membuat hatiku gelisah seperti ini. “Chaerin-ah, abojji…”
“Eomma, waeyo? Gwaenchanaeyo?”
Kali ini tangis eomma meledak. Aku hanya menghela napas. Pasti suatu hal terjadi. Pasti kabar buruk. Pasti…
“Abojji meninggal,” terdengar suara appa. Aku tidak terisak. Badanku tidak terguncang, tapi hatiku sakit. Aku lemas, tidak kuat untuk berdiri. Akhirnya aku jatuh, tapi belum sampai tanah, badanku ditahan sesuatu.
“Chaerin-ah, gwaenchana?” kudengar suara seseorang. Badanku mulai terguncang. Tiba-tiba aku berdiri dan memeluk orang itu. aku tidak sempat melihat wajahnya. Tapi aku mengenal suaranya.
“Taemin-ah, aku sedih…”
Tangisku makin kencang. “Wae?” tanyanya.
“Abojji, abojjiku meninggal…”
 ——————————————————————————————————————————————————————————————————————————
#6# First Time I Have
Aku sudah sadar, tapi mataku menolak untuk terbuka. Tapi aku memaksa. Mataku pun terbuka. Aku kaget. Kaget setengah mati, tapi aku terlalu lemah untuk menolak hingga akhirnya bibirku dilepasnya.
“Kau sudah bangun,” katanya.
“Hm,” balasku. “Kenapa kau lakukan itu… oppa?”
“Saranghae…”
Aku tertegun. Minwoo oppa, tidak tahukah engkau bahwa ini bukanlah waktu yang tepat? Aku sedang berkabung, dan kau membuatku lebih menderita dengan kekecewaanku padamu.
“Oppa, bisakah kau keluar dari ruangan ini?”
Ia tidak langsung menjawab. “Kau marah?”
Aku bergeming. Aku tidak tahu harus berkata apa.
Akhirnya Minwoo oppa keluar dari kamarku, lalu Seohyun onnie masuk. Sebelum ia berkata apa-apa, aku berkata, “Aku mau pulang. Sekarang.”
 ——————————————————————————————————————————————————————————————————————————
#7# Sadness
Aku ada di kamar, memandangi sebuah foto berbingkai kayu. Ukiran itu buatan kakek/abojji. Di dalamnya ada aku yang masih setinggi lutut kuda dewasa dan kakek yang menertawaiku karena kotor akan lumpur.
Aku tidak pernah ingat kakek marah padaku. Aku membuatnya harus membayar biaya telepon karena aku belajar menelepon seseorang. Aku membuatnya tidak bisa menonton pertandingan tinju kesukaannya. Aku juga membuatnya mengajariku memakan sayuran.
Jika mengingat semuanya, aku sangat sedih. Kucoba untuk tidak meneteskan air mata, tapi aku tak mampu. Meski tak ada guncang di tubuhku, ataupun isakan, tapi ketika kupandangi foto berbingkai kayu itu, air mataku mengalir tanpa henti. Seperti otot polos di rongga ususku yang terus melahap sari-sari makanan yang kumakan.
Aku masih ingat saat bingkai di tanganku ini kakek buat.
Saat itu sinar matahari tengah hari sedang sangat menyengat. Peluh kakek bercucuran. Aku berdiri di depan kakek yang duduk sambil memotong-motong kayu dengan gergaji. Aku tidak boleh mendekat. Jarak kami satu meter, dan aku hanya bisa melihat, tidak bisa membantunya. Aku hanya melihatnya bekerja, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan memberikan minum atau makanan kecil.
Aku tidak bisa seperti eomma yang bisa menangis hingga tersedu-sedan. Aku deat dengan kakek, tapi tidak bisa melakukan hal itu karena aku sangat malu. Banyak orang menghadiri pemakaman, jadi aku malu untuk menangis. Tapi anehnya, hingga proses pemakaman selesai, aku tidak menangis sedan.
Aku berharap Minwoo oppa ada di sini, membelai rambutku dan menenangkanku, tapi aku tidak akan meminta padanya untuk melakukan hal itu. Aku sudah tidak ingin bertemu dengannya lagi. Ia sudah mencuri ciuman pertamaku. Aku tidak marah. Aku bahkan tidak tahu mengapa.
 ——————————————————————————————————————————————————————————————————————————
#8# Epilog
Beberapa bulan kemudian, aku lulus dari SMA. Aku melanjutkan kuliah ke luar kota. Semenjak itu, aku tidak pernah bertemu Minwoo oppa. Kudengar ia pindah ke luar Seoul. Aku sedih mendengarnya, tapi itu sudah terjadi.
Hingga kini aku masih merasakan bibirnya yang hangat dan basah. Rasanya ‘tempelan’ itu tidak pernah lepas. Bibirku seperti ditempeli stiker bergambar bibir. Seandainya memang begitu, tak masalah. Tapi ini, bibir yang sesungguhnya.
Aku ada di perpustakaan. Sewaktu SMA, aku jarang mengunjungi perpustakaan. Terlalu banyak buku. Aku ingin membaca kesemua buku itu, tapi akhirnya aku pusing sendiri karena terlalu senang melihat banyaknya buku di perpustakaan.
Aku duduk di pojok, sendirian. Saat ini aku sedang ingin sendiri.
“Maaf, boleh saya duduk di sini?” Aku menoleh, mendongakkan kepala untuk melihat ornag itu. Ternyata seorang ahjussi. Aku diam sementara ahjussi itu duduk di samping kiriku.
Kepalaku pusing mendadak. Selama beberapa menit aku menahan, tapi akhirnya aku tidak tahan.
“Maaf,” kataku sambil menepuk punggung orang itu. Ahjussi di sebelahku menoleh heran, tapi aku menarik ujung bibirku—tersenyum jail.
CUPP!!
Kulepaskan bibirku dari bibirnya. Ahjussi itu terlihat kaget.
“Sudah berapa kali kau menciumku diam-diam?” tanyaku sambil kembali membaca buku di hadapanku. Aku sudha lega sekarang. Aku masih saja tersenyum menang.
“Hya, jadi selama tiga menit ini kau mengenalku?” tanyanya.
“Ne,” balasku, “No Minwoo-ssi.”
“Tapi, tapi, bagaimana kau bisa—“
“Kau masih memakai kalung yang kuberi.”
“Tapi aku memakai syal.”
“Aku yang memberimu syal itu.” Aku diam. “Jadi, kau ke sini untuk mengingatkan aku akan dirimu, kan?”
“Entahlah. Menurutmu bagaimana?”
Aku menoleh dengan alis berkerut. “Hya jawab dulu pertanyaanku. Sudah berapa kali kau menciumku diam-diam?”
Minwoo oppa memandangku, lalu tersenyum jail. Aku mengedip. Tapi seperti adegan lambat, sebelum mataku terbuka ia menyerangku duluan. Minwoo oppa menciumku.
Rasanya lama sekali saat mataku tertutup. “Kau mau tahu berapa kali?” tanyanya sementara aku menundukkan kepalaku. “Tiga kali.”
“Hya, kenapa kau begitu sering menciumku?” Kupukul namja itu dengan buku di meja. Dia berlari menghindariku, tapi aku terus mengejarnya sehingga kami membuat ribut perpustakaan itu. Untung sedang tidak ada orang.
#THE END#

Tidak ada komentar: